headerphoto

Perempuan, Kondom dan Kebebasannya

Terjadilah di sebuah kamar kost pada suatu malam yang sendu. Deru nafas sepasang kekasih atau bukan kekasih atau pasangan selingkuh, atau suami istri, atau apalah… Berpacu dengan bulir keringat yang mulai membasahi tubuh telanjang mereka…

Kamar 1
cowo: Sayang… dimasukin yah
cewe: Ya iyahhh…
cowo: Tapi gak osah pake kondom yah
cewe: Emang kenapa?
cowo: Gak enak aja, ntar gak dikeluarin di dalem deh
cewe: Hmmm… tapiii…
cowo: Tapi apa?!?
cewe: Kalo aku hamil gimana…??
cowo: Ya ampun kamu gak percaya banget sih sama aku. Kalo kamu sampe hamil ya aku tanggung jawablah sayang…

Dan deru nafas itu terus berlanjut… Ternyata si cowok gak bisa mengontrol diri dan ‘muntah’lah dia di’dalem’, selanjutnya…?!?

Kamar 2
cowo:”Sayang… dimasukin yah”
cewe: Ya iyalahhh…
cowo: Tapi gak osah pake kondom yah
cewe: Kenapa?
cowo: Ga enak aja, ntar gak dikeluarin di dalem deh
cewe: Tunggu dulu… Jadi cuma karena kamu gak enak?!? Terus aku?!? Aku belom mau hamil loh
cowo: Ya kalo kamu hamil aku siap tanggung jawab kok, lagian takut banget sih. Gak percaya apa sama aku?!?
cewe: Hehehehe… untuk hal yang satu ini kayanya nggak deh. Dan masalah tanggung jawab, kurasa itu bukan tanggung jawabmu aja. Lagian kamu mao tanggung jawab kaya gimana?
cowo: Ya nikahin kamu, atau nggak biayain kamu ngelahirin
cewe: Sayang, kayanya kita sampai disini aja deh…

Dan berpakaianlah si perempuan dan pergi meninggalkan sang kekasih, tanpa pernah menoleh. Meski masih ada perasaan ‘kentang’ dan sedih meninggalkan kekasihnya, namun ia merasa langkahnya sangat ringan. Ia merasa begitu merdeka karena telah mengambil keputusan yang menurutnya sangat tepat…
Melangkah ia dengan senyum dan berdendang…

“…I have decide it to leave you forever, I have decide it starting from here… Thunder and lightning won’t change what I feel…”
–Daffodil Lament, The Cranberries-


Kondom… benda yang diciptakan untuk mencegah kehamilan dan penularan penyakit kelamin. Tapi disini kita bukan ingin membicarakan sejarah kondom. Tapi mari kembali pada kenyataan dan ada apa dibalik kenyataan itu? Kita membicarakan mengenai sebuah keputusan seorang perempuan untuk menggunakan kondom. Disini terjadi sebuah pengambilan keputusan oleh perempuan sendiri, berdasarkan keinginannya, kesadarannya, berdasarkan rasionalitasnya, tanpa tekanan dan paksaan. Mengapa akhirnya perempuan memutuskan untuk meninggalkan kekasihnya ketika menolak menggunakan kondom? Yak arena ia sadar dan rasional. Ia melindungi dirinya dari berbagai kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada dirinya. Misalkan perempuan hamil, lantas apakah dengan si laki-laki yang bertanggung jawan persoalan akan selesai? Ya enggaklahhhh… Pertama ia harus menerima sesuatu yang bukan merupakan keinginannya (hamil misalnya). Ia belum siap, ia masih memiliki segudang asa dan harapan, ia kehilangan asa tersebut. Belum lagi dengan cara pandang masyarakat kita yang sungguh2 sadis, gemar menghakimi, picik, munafik, sempit, khususnya terhadap perempuan.

Namun pada kenyataannya, dalam proses seperti ilustrasi diatas disadari atau tidak terdapat sebuah pola relasi kekuasaan. Hubungan masyarakat kita, suka atau tidak, masih sangat didominasi oleh kekuasaan laki-laki. Dalam pengambilan keputusan peran perempuan masih sangat kecil. Apalagi dalam pola hubungan personal/domestik. Perlu diingatkan lagi mengenai pola relasi kekuasaan dalam masyarakat kita. Laki-laki selalu sebagai si pengambil keputusan yang terbantahkan. Hal ini didukung oleh kultur/budaya, agama, kebiasaan, dll. Dan hal ini terjadi dalam berbagai situasi; dalam keluarga (ayah), dalam hubungan (pacar), dalam masyarakat (tokoh2 masyarakat yang gila hormat itu), dalam bernegara (para elit2 keparat itu), dalam beragama (pimpinan2 agama), dalam sekolah, dalam perusaan atau kantor (bos2 atau atasan2 brengsek itu), dan sebagainya.

Pola relasi ini sudah terjadi begitu lama, Ya, patriarki itu melanggengkan pola relasi kekuasaan. Kekuasaan bagi saya (tanpa mengutip dari buku atau pakar tertentu, dari apa yang saya alami dan coba terjemahakan/pahami) adalah memiliki suatu daya untuk mengatur bahkan menentukan pilihan dan keputusan pihak lain. Tapi yang sedikit rumit dalam hal ini daya yang dimiliki adalah posisi sebagai seorang laki-laki. Hal ini dianggap sudah memiliki daya tertentu, ya menjadi laki-laki sudah memiliki daya tersendiri, untuk menguasai perempuan. Jadi ketika berhadapan dengan situasi-situasi tertentu seperti sudah terkonstruksi dalam benak (baik laki-laki ataupun perempuan) menganai siapa yang akan berperan dalam mengambil keputusan.

Sialnya, perempuan terkonstruksikan dalam pola pikirnya tidak memiliki hak dan daya yang besar dalam mengambil keputusan, dan secara pasrah menyerahkan pada laki-laki. Tentu tidak akan menjadi masalah apabila porsinya seimbang, dalam arti perempuan dan laki-laki menggunakan hak dan dayanya secara seimbang, tidak timpang seperti yang selama ini terjadi.

Yang harus menjadi perhatian adalah jika kita bicara mengenai equality, apakah kita sudah memperlakukan diri kita atau pasangan kita dengan equal/setara?!? Atau kita masih terjebak dalam pola relasi kekuasaan yang didominasi oleh laki-laki itu? Kamu sendiri yang jawab ya…

Jadi, menggunakan kondom bukan hanya sekedar menggunakan kondom… Tapi juga berarti keputusan dan keberanian seorang perempuan untuk mengambil keputusan bagi dirinya, juga berarti keputusan dan keberanian laki-laki dalam mengurangi kekuasaannya dan mau menerima pilihan pasangannya, nah… ini baru equal!

*dari RedRebel zine edisi #6 Februari 2008
Read More..